Laman

Pembuktian Empirik dalam Teori-teori Kritis


Teori ilmiah” dalam konsepsi positivisme, menuntut konfirmasi empirik, melalui observasi dan eksperimen, dengan menerapkan seperangkat metode-metode tertentu mulai dari metode pengumpulan data, hingga metode analisis; kesemuanya tak jarang disertai pengukuran atau kuantifikasi realitas social yang diteliti. Itu semuaterkait dengan kriteria falsifiability dan testability, yakni apakah suatu teori bisa diturunkan menjadi konsep-konsep atau variabel-variabel yang memungkinkan untuk diuji secara empirik.


Karenanya, dalam sistimatika penelitian positivistik, khususnya yang menerapkan hypothetico-deductive method, suatu kerangka teori sebenarnya merupakan theoretic hypothesis (jawaban teoretis sementara terhadap masalah penelitiani). Hipotesis teoretik itulah yang kemudian.harus diturunkan menjadi research hypothesis (dan statistical hypothesis, dalam kasus penelitian kuantitatif). Tujuannya agar memungkinkan teori tersebut diuji dengan data empiris yang ada.

Di lain pihak, kerangka teori dalam paradigma Teori-teori Kritis tidak diturunkan sebagai hipotesis untuk diuji dihadapan data empirik yang ada. Sebab, Teori-teori Kritis memiliki konsepsi tersendiri tentang kaitan antara teori dengan dunia empirik, sebagaimana dikemukakan Golding dan Murdock, dalam Curran dan Gurevitch:
“The critical perspectives assumes a realist conception of the phenomena it studies, in the simple sense that the theoretical constructs it works with exist in the real world. They are not merely phenomenal” Dengan kata lain, “kebenaran” tentang realitas yang dikaji, telah melekat dalam eksplanasi yang dikemukakan teori itu sendiri; atau, apa yang dinyatakan teori
merupakan realitas yang sebenarnya. Sedangkan, data empirik yang ada bisa dinilai sekadar virtual reality, ataupun refleksi false consciousnes para agen sosial yang dirujuk teori.

Karena itu, suatu teori kritis, lebih mengutamakan practical explanation, menyangkut persoalan action and structure (atau dalam bahasa Giddens, interplay between agents and structure) dalam melakukan suatu transformasi sosial. Karenanya pula, suatu teori kritis dinilai cognitively acceptable (dan valid) hanya bila:
(1) teori tersebut membongkar “kesadaran palsu” dan bisa diterima dan bertahan sebagai refleksi diri para pelaku sosial yang dirujuk teori, dan
(2) teori tersebut bisa digunakan sebagai dasar melakukan transformasi.

Pembuktian empiris dalam teori-teori kritis, dengan demikian juga terkait dengan keharusan agar pertama-tama para agen-agen pelaku sosial yang dirujuk teori, mengadopsi teori itu sendiri: Kondisi empirik tertentu (yang menurut teori kritis dinilai sebagai kondisi yang “seharusnya” ada) akan tercipta bila para agen sosial mengadopsi teori itu sendiri, dan kemudian bertindak atas dasar teori yang mereka adopsi tersebut. Suatu hegemoni akan roboh bila masyarakat pertama-tama menyadari adanya hegemoni, dan bertindak terhadapnya, atau menjadikan teori kontra-hegemoni sebagai rujukan ideologis bagi aksi-aksi sosial mereka (akibatnya, teori-teori kritis seringkali dinilai sebagai teori yang memuat elemen self-fulfilling prophecy).

Kedudukan pembuktian empiris tersebut terkait dengan masalah predictive power suatu teori kritis yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalam contoh tentang hegemoni di atas, berakhirnya hegemoni bukanlah suatu kondisi yang diramalkan akan terjadi, tetapi suatu kondisi yang dikehendaki demi pembebasan manusia; dan untuk menciptakan kondisi yang dikehendaki itu, agen sosial harus menyadari adanya hegemoni, dan melakukan kontra hegemoni. 

Pemahaman semacam itu serupa dengan pengujian validitas dalam critical constructivist research:
“The test of validity in the case of critical constructivist research is directly related to its stated purpose of inquiry. The research is valid to the extent that the analysis provides insight into the system of oppression and domination that limit human freedoms, and on a secondary level, in its usefulness in countering such systems.”

Masalah pembuktian empirik tersebut terkait dengan konsepsi teori-teori kritis tentang kebenaran data sosial empirik. Pemahaman bahwa “objective reality” dapat diungkap melalui koleksi dan sistematisasi data yang secara metodologi benar, dinilai oleh teoretisi kritis sebagai suatu “naïve empiricism”. Mazhab Teori-teori Kritis juga menolak untuk menurunkan persoalan epistemologi menjadi sekadar masalah metodologi. Secara epistemologis, mazhab
pemikiran tersebut mengedepankan realist epistemology, yang menilai pemahaman mengenai suatu realitas tidak terbentuk semata-mata oleh pengamatan inderawi melalui suatu metodologi tertentu belaka, melainkan juga oleh penjelasan rasional. Dengan kata lain, dalam kacamata seorang realis “ . . . reality is made up of both what we see and how we explain what we see”.

Contohnya, bila melalui suatu metode penelitian tertentu diperoleh data empirik yang memperlihatkan sebagian besar pelaku sosial menilai suatu sistem ekonomi neoliberal dimana mereka hidup sebagai suatu realitas yang wajar -- atau alami, tidak terelakkan, “objektif” , sudah logis dan seharusnya demikian, atau sebagai satusatunya alternatif -- maka di satu pihak para ilmuwan positivist melihat itu semua sebagai kondisi objektif dari para pelaku sosial.

Namun di lain pihak, ilmuwan teori-teori kritis akan melihat apa yang diungkapkan para pelaku sosial tersebut sebagai suatu “virtual reality”, atau refleksi “false consciousness” yang melekat dalam diri pelaku sosial, sebagai hasil hegemoni ideologi-ideologi dominan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.