Laman

Tujuan Teori-teori Kritis


Para tokoh Frankfurt School membedakan teori kritis dengan “teori ilmiah” dalam mainstream methodology yang positivistik (atau “tradisional”). Perbedaan tersebut, perlu pula dipahami sebagai kritik teori-teori kritis terhadap positivisme. Perbedaan epistemologis tersebut menciptakan perbedaan mendasar lainnya antara Teori-teori Kritis dengan teori-teori positivistik, yakni perbedaan mengenai tujuan dari teori itu sendiri. “Teori ilmiah”, dalam positivisme atau “traditional science” merupakan bagian dari sistem deduktrif yang antara lain melibatkan suatu proses yang dikenal sebagai hypothetico-deductive method.



Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial. Dalam pengertian tersebut teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan Kerlinger:

“. . . a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomenon by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena” Atau seperti yang dirumuskan oleh Wallace: “Theories . . . explainempirical generalizations that are already known, and they predict empirical generalizations that are still unknown”. Eksplanasi dalam teori-teori tradisional hampir secara spesifik mengambil bentuk sebagai suatu causal explanation dimana sejumlah fenomena saling dihubungkan dalam rantai kausalitas (sebab – akibat). 


Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk mengelola atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki. “Kekuatan” atau kegunaan sebuah teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power dan explanative power teori tersebut.


Di lain pihak, dalam paradigma teori-teori kritis, teori merupakan suatu kritik untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu” yang teramati secara empirik: “Theory is not a deductive system of interconnected axioms and laws, but a critique that reveals true conditions behind virtual reality, false consciousness and beliefs.


Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti “false class consciousness”). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau hegemoni. Dalam perkembangannya, tujuan serta kepentingan yang menjadi motivasi teori-teori kritis dapat disimpulkan lebih spesifik lagi, antara lain melalui pernyataan Kellner sebagai berikut:


“Critical theory promotes attempts to achieve liberation from forces of domination and class rule . . . Critical theory is motivated by interest in progressive social change, in promoting values such as democracy, freedom, individuality, happiness, and community” Lebih dari itu, teori-teori kritis bertujuan melakukan transformasi, atau perobahan sesuai dengan kepentingan para pelaku sosial yang menjadi subjek teori. 


Suatu teori kritis ditujukan bagi sekelompok agents, demi penyadaran diri mereka dalam proses emansipasi dan pencerahan. Suatu proses emansipasi dan pencerahan merupakan transisi dari sebuah tahap awal (initial stage) dimana para agents memiliki “kesadaran palsu” (false consciousness), mengalami dominasi atau hegemoni, dan eksploitasi, menuju suatu tahap akhir (final stage) yang dikehendaki, dimana mereka terbebas, serta bisa mengaktualisasikan diri.


Dari segi tujuan melakukan transformasi tersebut, teori-teori kritis sebenarnya juga melakukan eksplanasi, tetapi bukan dalam pengertian causal explanation, melainkanpractical explanation, yakni menjelaskan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi awal menuju suatu kondisi akhir yang dikehendaki. Itu sekaligus berarti explanatory power yang dimiliki teori-teori kritis harus dipahami berbeda dari apa yang difahami para ilmuwan teori-teori “tradisional”.


Dari segi tujuan teori-teori kritis, maka prediksi bukan pula merupakan tujuan dari berteori. Dengan kata lain, predictive power bukan merupakan tolok ukur untuk menilai kekuatan suatu teori kritis. Hal ini penting disadari. Sebab, teori-teori kritis seringkali dikritik dan dinilai telah gagal, akibat tidak mampu membuat prediksi, atau karena situasi yang “diramalkan” tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat bila pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan adalah “mengantisipasi” berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu merupakan suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse sebenarnya memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu kondisi tertentu.


Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis prediktif, contohnya seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah deskripsi suatu proses dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya.Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat normatif,yang secara sadar dilekatkan dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi normatiftersebut hanya mungkin dipenuhi melalui suatu interplay antara seperangkat norma-norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu pula, sebuah teori kritis, dalam penilaian Horkheimer, bisa dianggap mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yakni teori tersebut harus:


1. Explanatory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya, yang wajar dan tidak wajar.


2. Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya demikian.


3. Normative; terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.


Kesemuanya itu terkait dengan konsepsi para teoretisi kritis tentang struktur kognitif suatu teori kritis, dan juga dengan konsepsi yang mereka miliki mengenai objektivitas, serta kedudukan pembuktian empirik dalam teori-teori kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.