Laman

BAITUL MAL WAT TAMWIL

A. Pengertian BMT 

 

BMT adalah singkatan dari istilah Baitul Mal wat Tamwil. Secara singkat, bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan komersial. BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). BMT berbeda dengan Bank Umum Syari’ah (BUS) maupun Bank Perkreditan Syari’ah (BPRS).

Perbedaan BMT dengan Bank Umum Syari’ah (BUS) atau juga Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) terletak di bidang pendampingan dan dukungannya. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan Peraturan Pemerintah di bawah Departemen Keuangan atau juga Peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan, BMT yang notabene sebagai badan hukum koperasi, secara otomatis pangawasannya terletak di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari departemen tersebut.

Sampai saat ini, selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2008: 15-16).

B. BMT di Indonesia 

 

Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). Pada perkembangannya, menurut Ketua Umum Asosiasi BMT Seluruh Indonesia (Absindo), Aries Muftie, saat ini setidaknya terdapat sekitar 3.000-4.000 BMT di seluruh Tanah Air.

Perkembangan tersebut terjadi disebabkan oleh gerakan BMT yang berskala mikro, sehingga lebih dekat kepada masyarakat menengah ke bawah. Cukup dengan sejumlah modal dan beberapa orang yang bersedia menggerakkan dengan prinsip syariah, maka BMT sudah dapat didirikan, bahkan di desa terpencil sekalipun.

Dalam kinerja operasionalnya, BMT di Indonesia sama dengan fungsi utama operasional bank syariah yang mencakup penghimpunan dana dari masyarakat (funding) dan penyaluran dana (financing) sebagai bentuk usaha BMT itu sendiri. Sistem yang digunakan tentu saja merupakan sistem yang berlandaskan syariah Islam. Akad-akad yang diterapkan dalam perbankan syariah juga diterapkan di BMT, seperti mudharabah, murabahah, wadia’ah hingga qardhul hasan, baik dalam konteks penghimpunan maupun penyaluran dana dari dan kepada masyarakat.

C. Azaz dan badan hukum BMT 

 

BMT berasaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan (kaffah), kekeluargaan/ koperasi, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Secara hukum BMT berpayung pada koperasi, tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syariah. Sehingga, produk- produk yang berkembang dalam BMT menyerupai produk-produk yang ada di Bank Syari’ah. Efek dari berbadan hukum koperasi, BMT harus tunduk pada Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi, juga dipertegas oleh KEP. MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi jasa keuangan Syari’ah. Undang-undang tersebut sebagai payung berdirinya BMT (Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah).

Dalam menjalankan kegiatannya, peraturan operasional BMT sama halnya dalam bank syari’ah yaitu berdasarkan undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan ketentuan pelaksanaannya seperti PP Nomor 71 tahun 1992 tentang BPR serta PP Nomor 72 tahun 1992 yang mengatur mengenai bank dengan prinsip bagi hasil. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998.

D. Struktur organisasi dan mekanisme operasional 

 

1) Struktur Organisasi 

 

Struktur organisasi BMT menunjukkan wewenang, tanggung jawab, dan komando serta bidang yang digarap masing-masing. Struktur organisasi berguna agar sistem yang ada pada BMT tidak terjadi benturan fungsi maupun tugas. Setiap BMT memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam penyusunan struktur organisasi. Namun, secara umum struktur organisasi BMT terdiri dari:
  • Musyawarah Nasabah Tahunan
  • Dewan Pengurus
  • Dewan Pengawas Syariah
  • Dewan Pengawas Manajemen
  • Pengelola yang terdiri minimal Manajer, Marketing, Accounting dan Kasir

2) Mekanisme Operasional

a) Musyawarah Nasabah Tahunan
Musyawarah Nasabah Tahunan diselenggarakan sekali dalam setahun. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh perangkat BMT dan nasabah atau perwakilannya. Musyawarah Nasabah Tahunan merupakan kedaulatan tertinggi dalam manajemen BMT, sehingga berhak memutuskan:
  1. Pengesahan atau perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi
  2. Pemilihan, pengangkatan dan sekaligus pemberhentian pengurus dan pengawas, baik pengawas syariah maupun manajemen
  3. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja BMT selama satu tahun
  4. Penetapan visi dan misi organisasi
  5. Pengesahan laporan pertanggungjawaban pengurus tahun sebelumnya
  6. Pengesahan rencana program kerja tahuan

b) Dewan Pengurus
Dewan Pengurus sejatinya adalah wakil dari seluruh nasabah dalam menjalankan keputusan yang telah disyahkan dalam Musyawarah Nasabah Tahunan. Masa kerja pengurus bergantung dengan kepentingan organisasi. Fungsi, peran, dan tanggung jawab pengurus dapat dirumuskan sebagai berikut
  1. Perencanaan
  2. Personifikasi badan hokum
  3. Penyediaan sumber-sumber yang diperlukan
  4. Personalia
  5. Pengawasan
c) Dewan Pengawas Syariah

Tugas utama Dewan Pengawas Syariah adalah melakukan pengawasan BMT, terutama yang berkaitan dengan penerapan sistem syariah. Landasan kerja Dewan Pengawas Syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fungsi utama Dewan Pengawas Syariah adalah:
  1. Penasehat dan pemebri saran dan atau fatwa kepada pengurus dan pengelola mengenai hal-hal yang berkaitan dengan syariah seperti penetapan produk.
  2. Sebagai mediator antara BMT dengan Dewan Syariah Nasional atau Dewan Pengawas Syariah Propinsi.
  3. Mewakili nasabah dalam pengawasan syariah.

d) Dewan Pengawas Manajemen

Dewan Pengawas manajemen merupakan representasi nasabah terutama berkaitan dengan operasional kerja pengurus. Masa kerja pengawas sama dengan pengurus. Nasabah Dewan Pengurus Manajemen dipilih dan disyahkan dalam Musyawarah Nasabah Tahunan. Setiap nasabah BMT memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi dewan pengawas manajemen. Fungsi dan peran utamanya meliputi.:
  1. Mewakili nasabah dalam memberikan pengawasan terhadap kerja pengurus terutama berkaitan dengan pelaksanaan keputusan musyawarah tahunan;
  2. Memberikan saran, nasehat, dan usulan kepada pengurus;
  3. Mempertanggungjawabkan hasil kerja pengawasannya kepada nasabah dalam musyawarah tahuanan

e) Pengelola

Pengelola merupakan kesatuan kerja hasil bentukan Dewan Pengurus. Mereka adalah wakil pengurus dalam menjalankan operasional BMT secara keseluruhan. Pertanggungjawaban Pengelola ada pada Pengurus dan apabila diminta dapat memberikan penjelasan kepada nasabah pada saat Musyawarah Nasabah Tahunan. “Satuan kerja Pengelola terdiri dari minimal manajer/direktur, pembukuan, marketing/pemasaran, kasir/teller”.

Dalam perkembangannya struktur organisasi BMT dapat diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Perkembangan struktur tersebut dapat menjadi:
  1. Direktur
  2. Manajer operasional yang membawahi bagian kasir, pembukuan, bagian administrasi pembiayaan-tabungan dan bagian pelayanan nasabah.
  3. Manajer Marketing yang membawahi bagian funding officer (FO), account officer (AO), dan remedial (penagihan).
  4. Bagian pembukuan yang akan membawahi: internal audit dan staf pembukuan.

E. Kegiatan Baitul Maal Wa Tamwil


Pada dasarnya kegiatan Baitul Maal Wa Tamwil terdiri atas dua lembaga yaitu:

a. Baitul Maal

Baitul Maal merupakan lembaga keuangan yang berorientasi sosial keagamaan yang usaha utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan Sunah Rasul.

b. Baitul Tamwil

Baitul Tamwil merupakan lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan ataupun deposito dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.

Secara umum produk BMT dapat diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu:

a. Produk penghimpunan dana (funding)

b. Produk penyaluran dana (lending)

c. Produk jasa

d. Produk tabarru’: ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Waqaf, dan Hibah )

F. Mekanisme Penyaluran Dana BMT


Kegiatan operasional yang tidak kalah penting dalam BMT adalah kegiatan penyaluran dana/pembiayaan. Dalam kegiatan penyaluran dananya, secara garis besar pembiayaan BMT dapat dibedakan menurut tujuan penggunaannya, yaitu:

1. Jual beli

Jual beli adalah akad antara penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli dimana objeknya adalah barang dan harga. Penerapan akad jual beli ini dalam transaksi BMT tampak dalam produk pembiayaan murabahah, salam, dan istishna.

2. Bagi hasil

Implementasi dari akad bagi hasil dalam transaksi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) inilah yang lebih dikenal di masyarakat karena memang fungsinya sebagai pengganti bunga. Dalam prakteknya BMT dapat menggunakan akad ini dalam dua sisi sekaligus, yaitu sisi penghimpunan dana (funding) dan sisi penyaluran dana (lending).

Penerapan akad bagi hasil dalam bentuk penghimpunan dana melalui produk simpanan, sedangkan dalam penyaluran dana adalah pada produk pembiayaan Mudharabah dan pembiayaan Musyarakah.

3. Sewa-Menyewa

Sewa menyewa yaitu perjanjian yang objeknya merupakan manfaat atas suatu barang atau pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban membayar uang sewa/upah (ujrah). BMT menggunakan akad ini dalam produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bit tamlik.

4. Prinsip Jasa

Pembiayaan ini disebut jasa karena pada prinsipnya dasar akadnya adalah ta’awun atau tabarru’i. Yakni akad yang tujuannya tolong menolong dalam hal kebajikan. Adapun pengertian dari jenis-jenis pembiayaan tersebut adalah al wakalah, kafalah/garansi, al hawalah/pengalihan piutang, dan ar rahn (gadai).

5. Pinjam-meminjam yang Bersifat Sosial

Dalam operasional BMT transaksi pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman sekaligus ataupun dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.

G. Perbedaan Sistem antara BMT dan Bank Syariah


Secara prinsip BMT dan Bank Syariah sama-sama menjunjung asas ekonomi islam dalam sistem maupun operasionalnya. Namun, BMT memiliki beberapa perbedaan dengan Bank Syariah.

Perbedaan yang paling menonjol adalah status hukum yang menaungi keduanya dimana Bank Syariah sudah berbentuk perseroan dan tunduk di bawah Undang-Undang tentang Perbankan Syariah. Sedangkan BMT masih belum memiliki status dan perundang-undangan yang jelas walaupun mendapat dukungan dari pemerintah. Sebagai solusinya, hingga saat ini BMT masih menginduk pada perundang-undangan koperasi walaupun secara mekanisme kerja berbeda.

Pada nisbah bagi hasil produk tabungan, Bank Syariah dan BMT cenderung memiliki perbedaan, dimana BMT menentukan nisbah yang lebih kecil bagi nasabah (penabung). Hal ini disebabkan karena pertimbangan modal BMT yang lebih kecil, sistem profit sharing yang berbeda dengan bank syariah (revenue sharing), tidak adanya pembebanan biaya administrasi bagi nasabah, serta tingkat likuiditas BMT itu sendiri.

Pada produk pembiayaan, BMT tidak menentukan nisbah tertentu. Prosentase bagi hasil tersebut ditentukan melalui kesepakatan antara pihak BMT dengan calon peminjam secara personal. Hal ini disebabkan karena BMT tidak tunduk kepada regulasi BI (Bank Indonesia) sehingga lebih leluasa dalam menerapkan konsep bagi hasil yang sesungguhnya.

H. Prosedur Pendirian BMT


Tahapan pendirian BMT dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Pemrakarsa, motivator yang mengetahui tentang BMT. Pemrakarsa tersebut mensosialisasikan menjelaskan kepada para rekan,sahabat tentang BMT dan peranannya.
  • Pemrakarsa tersebut membentuk panitia Penyiapan Pendirian BMT (P3B)dilokasi tertentu, seperti masjid, pesantren, desa miskin dll
  • P3B mencari modal awal Rp.10.000.000-Rp 30.000.000 Agar BMT mulai beroperasi dengan syarat modal itu. Modal awal ini dapat berasal dari perorangan, lembaga, yayasan, BAZIS, pemda dan lembaga lainnya.
  • P3B juga dapat mencari modal-modal pendiri (simpanan pokok khusus / SPK semacam saham) dari sekitar 20-44 orang dikawasan tersebut untuk mendapatkan urunan. Untuk kawasan perkotaan mencapai Rp 20 – 35 juta, sedangkan untuk kawasan perdesaan SPK antara 10-20 juta. Masing-masing para pendiri perlu membuat komitmen tentang peranan masing-masing.
  • Jika calon pemodal-pemodal pendiri telah ada, maka dipilih pengurus (3 sampai 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengarahkan kebijakan BMT. Pengurus mewakili para pemilik modal.
  • P3B atau pengurus jika telah ada mencari dan memilih calon pengelola BMT
  • Mempersiapkan legalitas hukum untuk usaha:
  1. KSM/LKM dengan mengirimkan surat ke PINBUK
  2. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Syariah atau Koperasi Serba Usaha (KSU) unit syariah dengan menghubungi kepala kantor/dinas/badan koperasi dan pembinaan pengusaha kecil di ibu kota kabupaten/ kota
  • Melatih 3 – 5 calon pengelola (minimal D3 dan lebih baik S1) dengan menghubungi pusdiklat PINBUK provinsi atau kab/kota
  • Melaksanakan persiapan-persiapan sarana kantor dan berkas administrasi yang diperlukan
  • Melaksanakan bisnis operasi BMT. 
  •  

I. Problematika BMT


Dengan segala kekurangan, kelebihan, keunggulan dari BMT, problematika tetap saja ada, antara lain:

a. Modal

Modal yang relatif kecil menjadi permasalahan yang setiap saat ada pada BMT. Didukung dengan perputaran modal yang belum tentu kembali 100 % untuk BMT. Diperlukan adanya suntikan dana yang cukup baik dari pemerintah atau pihak-pihak yang tertarik untuk berinvestasi di BMT.

b. Kredit Macet

Lambatnya angsuran yang diterima oleh BMT menjadi alasan yang klasik bagi BMT. Persoalan ini sudah menjadi santapan tiap terjadi akad-akad pembiayaan walaupun tidak semua peminjam selalu bermasalah.

c. Likuiditas

Dengan modal yang relatif kecil dan diharuskan terjadi perputaran untuk memperoleh laba, di samping dana pihak ketiga juga ikut diputar agar dana yang disimpan memperoleh bagi hasil, maka BMT akan mengalami permasalahan likuiditas jika tidak dapat memenuhi permintaan uang oleh nasabah.

KESIMPULAN


Dari berbagai pemaparan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa BMT secara hukum berbeda status dengan bank syaruah. Dengan begitu, BMT menerapkan konsep syariah lebih baik dari Bank Syariah karena tidak diatur oleh regulasi Bank Indonesia. Selain itu, BMT memiliki pangsa pasar yang berbeda dengan Bank Syariah, khususnya dalam hal luasnya. Hal tersebut pula yang kemudian berimbas pada perbedaan dalam hal mekanisme kerja keduanya. Proporsi pendapatan dalam nisbah bagi hasil selalu lebih besar bagi pihak BMT, khususnya dalam produk simpann.

Gerakan BMT yang gencar ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Pemerintah misalnya, perlu meregulasikan perundang-undangan yang jelas bagi BMT, sehingga kinerjanya lebih optimal dan tidak terbentur urusan hukum. Masyarakat pun akan mulai mempercayakan kebutuhan ekonominya pada lembaga mikro syariah ini, khususnya masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.



REFERENSI
  • Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  • Hamidi, M. Lutfi. 2003. Jejak-Jejak Ekonomi Syariah. Jakarta: Senayan Abdi Publishing.
  • Yahya, Rizal. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
  • Antonio, M. Syaf’i. 2001. Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktek. Jakarta : Gema Insani Press.
  • Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil. Yogyakarta: UII Press.
  • Rosyidin, Ahmad Dahlan. 2004. Lembaga Mikro dan Pembiayaan Mudharabah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
  • Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.