Laman

Struktur Kognitif dan Objektivitas Teori-teori Kritis

Dimensi tujuan dari teori-teori kritis membantu kita untuk memahami penyimpulan bahwa karakteristik teori-teori sekurangnya mencakup tiga hal:

Pertama, berbeda dengan teori-teori “ilmiah” dalam pengertian tradisional yang cenderung value free, maka teori-teori kritis menonjolkan posisi sebagai “panduan bertindak bagi manusia” dalam arti teori-teori itu (a) bertujuan untuk memproduksi pencerahan dalam diri pelaku sosial, yang lebih lanjut mampu memberdayakan mereka untuk menentukan “kepentingan sejati” mereka, dan (b) secara inherent bersifat emansipatoris, dengan menempatkan diri sebagai pelaku pembebasan dari berbagai bentuk dominasi dan hegemoni.


Kedua, teori-teori kritis, seperti hal-nya teori-teori ilmiah tradisional memiliki substansi kognitif, dalam pengertian teori-teori tersebut merupakan suatu bentuk pengetahuan.

Ketiga, dari segi epistemologi, menampilkan perbedaan yang amat mendasar dengan teori-teori “ilmiah tradisional”. Sebab, teori-teori kritis bersifat reflective, sementara teori-teori ilmiah tradisional lebih bersifat objectifying.

Atas dasar karakteristik tersebut di atas, maka suatu teori kritis, (tepatnya critical theoretical framework) dalam struktur pengembangannya yang lengkap terdiri atas 4 (empat) teori yang berbeda, dan lebih lanjut bisa dirinci menjadi 10 (sepuluh) teori yang konsisten satu sama lain, serta secara sistematis saling berhubungan, dalam arti bahwa elemen dari teori tertentu harus bisa digunakan sebagai bagian teori lainnya:

Theory of false consciousness (atau ideology critique), terdiri atas teori-teori yang:
1. Menunjukkan bagaimana kesadaran diri sekelompok individu sebenarnya merupakan kesadaran palsu (tidak mencerminkan fakta pengalaman hidup individu ‘yang sebenarnya’)
2. Menjelaskan proses bagaimana individu sampai memiliki kesadaran palsu tersebut.
3. Mendeskripsikan kesadaran alternatif yang lebih “unggul” atau yang “seharusnya”.
Theory of crisis, berisi serangkaian teori yang intinya berupaya untuk:
4. Menguraikan konsepsi tentang krisis sosial
5. Menunjukkan adanya krisis sosial tersebut dalam masyarakat
6. Mendeskripsikan perkembangan historis dari krisis tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan kesadaran palsu individu dan basis struktural masyarakat
Theory of education yang bertujuan untuk:
7. Menyajikan deskripsi kondisi-kondisi yang diperlukan dan mencukupi (necessary condition dan sufficient condition) bagi penyadaran dan pencerahan masyarakat..
8. Menunjukkan apakah kondisi-kondisi tersebut telah terpenuhi.
Theory of transformative action, yang utamanya adalah bertujuan untuk:
9. Mengisolisasi aspek-aspek tertentu dalam masyarakat yang harus dirobah untuk mengatasi krisis sosial dan mengurangi ketidakpuasan dalam masyarakat.
10. Memberi rincian suatu rencana program aksi, yang antara lain menyangkut siapa atau kelompok apa yang diharapkan menjadi pelaku transformasi sosial, dan juga sekurangnya menyangkut pula ide-ide umum tentang bagaimana kelompok tersebut bisa melaksanakan tranformasi sosial.

Tetapi tentu kita banyak menjumpai teori-teori kritis yang tidak mencakup secara lengkap elemen-lemen struktur seperti yang diuraikan di atas. Teori kritis Habermas tentang late capitalism, seperti yang diuraikan dalam Legitimation Crisis (1975), lebih terfokus pada teori-teori ke 4 s/d 6 (sebagai bagian dari theory of crisis).

Struktur teori-teori kritis tersebut menciptakan perbedaan yang lebih jauh dengan “teori-teori ilmiah” yang positivistik. Dalam konsepsi positivisme, suatu teori ilmiah harus bersifat “objectifying”, yakni para ilmuwan membuat pembedaan antara teori dengan “objek” yang dirujuk teori: “. . . the theory isn’t itself part of the object-domain it describes. Newton’s theory isn’t itself a particle in motion”.

Konsepsi objektivitas teori-teori positivistik juga berarti peneliti bisa dan harus mengambil jarak dengan fenomena yang diteliti, serta menjadikannya sebagai objek di luar dirinya. Kosekuensi-nya, penelitian dan teori haruslah value free, bebas dari penilaian yang berpihak. Objektivitas itu pula yang menjadi salah satu pokok utama quality criteria atau goodness dalam penelitian positivistik, yakni yang dipergunakan untuk menilai “kualitas” atau keabsahan suatu kajian atau penelitian ilmiah.

Teori-teori kritis, sebaliknya, menolak membuat klaim tentang “objektifitas”. Teori-teori kritis bersifat reflective atau self-referential. Artinya, teori kritis selalu merupakan bagian dari domain objek yang dirujuk: “critical theories are always in part about themselves”. Sebab, sebagai suatu teori sosial, maka suatu teori kritis merupakan refleksi dari keyakinan normative atau beliefs yang dimiliki pelaku sosial – sekurangnya kelompok ilmuwan yang berteori itu sendiri – tentang masyarakat mereka. Konsepsi semacam itu menempatkan teori-teori kritis dalam practical theoretical paradigm, yakni yang dalam penggambaran Littlejohn berbeda dengan teori-teori tradisional, antara lain karena:
“Theories affect the reality they are covering . . .theoriest are not separate from the worlds they create but are part of those worlds . . . people will be operating in an environment created by the theoriest . . .”.

Sejajar dengan pemahaman tersebut, teori tentang hegemoni, atau ideological state apparatus, merupakan refleksi resistansi terhadap suatu hegemoni dan praktek-praktek yang dijalankan oleh suatu apparatus ideologi negara; teori itupun menjadi bagian ideologi atau program aksi agen yang melakukan resistansi. Karenanya, bisa pula dinyatakan teori-teori kritis merupakan value-ladden atau value-conscious theories, dengan melakukan pemihakan-pemihakan yang relevan, sesuai filosofi sosial dan moral tentang human emancipation, atau human liberation yang menjadi tujuan teori-teori itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.