Laman

Validitas dan Goodness Teori Kritis


Goodness suatu teori kritis mencakup:  
Pertama, kemampuan untuk membuat eksplanasi tentang kondisi-kondisi yang tidak seharusnya, seperti adanya “kesadaran palsu”. 
Kedua, kemampuan untuk mengkaitkan ekplanasi tentang kondisi tersebut dengan penjelasan mengenai aksi (atau praxis) yang menjadi persyaratan agar kondisi tertentu bisa diciptakan.  
Ketiga, goodness suatu teori kritis juga ditentukan oleh kemampuan untuk membuat eksplanasi secara holistik, tidak menjelaskan, contohnya, masalah kemiskinan semata-mata sebagai masalah ketidak-mampuan individu, terisolir dari faktor-faktor struktural, distribusi kekuasaan dan sebagainya.

Disamping ketiga hal itu, maka goodness suatu teori kritis juga tergantung pada kemampuan untuk (a) mendefinisikan secara konseptual konteks historis spesifik, serta (b) menjelaskan
latar-belakang historis dari fenomena yang dijelaskan oleh teori.

Teori-teori ilmiah tradisional yang positivistik, umumnya merupakan nomothetic theories, yakni yang digambarkan sebagai teori-teori yang mencari universal or general laws, ataupun mencari invariant regularities dan fixed patterns tentang proses-proses dan relasi sosial, Konsepsi teori-teori nomothetik dalam bidang ilmu alam dan fisika, telah dijadikan model oleh kalangan ilmuwan sosial positivists yang meyakini adanya kaidah-kaidah atau hukum-hukum
sosial yang berlaku umum atau universal. Konsekuensinya, external validity -- apakah hasil penelitian yang diperoleh bisa digeneralisasi, atau sekurangnya menjadi supporting evidence bagi suatu nomothetic theory -- menjadi salah satu quality criteria bagi penelitian-penelitian dalam tradisi positivisme.

Dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, itu semua memunculkan kritik dari kubu teoretisi kritis terhadap teori-teori nomotetik yang dominan dalam paradigma positivisme. Antara lain dinilai bahwa teori-teori nomotetik tersebut, bersifat a-historis (tidak merujuk pada suatu konteks historis tertentu, atau mengabaikan kondisi kesejarahan spesifik yang ada) serta tidak kontektual (tercabut dari konteks spesifik sosial-ekonomi subjek yang dirujuk teori). Dalam konsepsi teoretisi kritis, fenomena sosial harus diamati dalam konteks kesejarahannya yang utuh, dan teori-teori kritis sendiri haruslah merupakan teori yang historis, yang dikaitkan pada suatu konteks kesejarahan spesifik tertentu.:

“The critical perspective holds that knowledge must be situated historically and cannot be a matter of universal and timeless abstract and abstractly related . . . knowledge, and the justification given to knowledge claims, must be ‘historize’ . . .””


Sesuai dengan substansi ekplanasi dalam teori-teori kritis (seperti “kesadaran palsu” yang disebabkan oleh hegemoni ideologi dominan dalam suatu sistem ekonomi kapitalis), maka konteks historis spesifik tersebut secara langsung ataupun tidak merujuk pada suatu tahap perkembangan tertentu dari kapitalisme yang dinilai relevan Dalam kajian critical political economy, contohnya, konteks historis spesifik dari analisis yang dilakukan merujuk pada tahapan yang secara konseptual disebut late capitalism:

“. . . critical analysis is historically located. It is specifically interested in the investigation and description of late capitalism, which it defines as both dynamic and problematic, as undergoing change and as substantially imperfect.” Tetapi penting dicatat, sejumlah pakar menilai konteks historis spesifik yang dirujuk dalam suatu kajian ekonomi-politik tidak cukup hanya dikaitkan dengan penggambaran kapitalisme dalam karakteristik-nya yang umum (karakteristik umum apa yang disebut late capitalism itu pun masih dinilai kurang mencukupi). Sebab, selain kapitalisme merupakan sistem yang dinamis dan masih terus bergerak dalam
suatu process of becoming, analisis yang dilakukan juga harus konkrit dan spesifik, Bottomore dan Rubel menyatakan:

“ It is not enough simply to outline the general features of capitalism; it is also necessary to show how they were developing and changing in response to concrete historical situation”

Analisis tentang hegemoni atau aparatus ideologi negara dalam era Orde Baru, contohnya, harus dikaitkan dengan karakteristik spesifik dan konkrit dari kapitalisme era Orde Baru -- yang dinamis dan pada dasarnya merupakan respon yang secara kontinyu dilakukan oleh suatu rejim authoritarian state corporatism terhadap perkembangan neo-liberalisme global, dan karenanya memberi ciri spesifik terhadap beroperasinya aparatus ideologi negara. 

Konsepsi bahwa analisis teori-teori kritis merupakan suatu analisis yang historis, menjadikan historical situatedness sebagai salah satu kriterium untuk menilai kualitas analisis. Selain mampu secara konseptual merumuskan penggal historis yang secara spesifik dijelaskan oleh teori, maka pengertian historical situatedness juga merujuk pada pengertian bahwa analisis-analisis yang dilakukan memperhitungkan latar belakang sejarah atau faktor-faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender ataupun latar belakang historis lainnya dari situasi yang dikaji saat ini “take account of the social, political, cultural, economic, ethnic, and gender antecedents of the studied situation".

Dengan demikian, analisis teori-teori kritis, sebagai contoh, tidak melihat “pasar” sebagai suatu realitas yang “objektif”, yang sepenuhnya berada di luar kepentingan-kepentingan subjektif berbagai kelompok sosial dalam suatu rentang historis. “Pasar”, dalam analisis teori-teori kritis selalu merupakan suatu konstruksi sosial, yang memiliki sejarah tersendiri. Artinya, konstruksi “pasar” yang ada saat ini harus dilihat sebagai suatu produk relasi sosial yang berakar ke masa lampau dan yang mungkin ditandai oleh adanya ketimpangan distibusi kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.