Laman

Fenomenologi Edmund Husserl


A. DEFINISI DAN PENGERTIAN

Secara etimologis, Fenomenologi dari asal kata Fenomen, inggris: Phenomenon; Yunani: Phainomenon (apa yang tampak) dari Phaonesthai/Phainomai/Phainein (menampakkam, memperlihatkan). Artinya adalah: Objek persepsi (apa yang diamati), apa yang tampak pada kesadaran kita. Objek pengalaman Indrawi (apa yang tampak pada panca indra kita). Suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati.
Fenomenologi adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama.
Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.
          Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.
        Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal.
            Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia? Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari psikologi positivistik.
Di dalam fenomenologi konsep makna adalah konsep yang sangat penting. “Makna” adalah isi penting dari pengalaman sadar manusia..” Pengalaman seseorang bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari sepeda motor. Namun makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman orang lainnya. Makna juga yang membedakan pengalaman yang satu dan pengalaman lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, juga karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun begitu bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni. Pada era sekarang logika murni ini dikenal juga sebagai semantik. Maka dalam arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik (atau logika murni).   
Fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Husserl menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan transendental, yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik, seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi positivistik,
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu.
Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.
Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian, fenomenologi adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi.


B. DUNIA FENOMENOLOGI

Satu pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya dengan referensi pada masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar. Apa kaitan antara realitas objektif yang hadir diluar pemikira dengan pemikiran yang kita miliki tentang realias objektif itu? Lantas Bagaimana dua dunia itu saling berkaitan? Cabang filsafat lain dan fenomenologi membuat usaha untuk menjawab itu semua.
Fenomenologi berangkat dari beberapa afirmasi berikut:
1)    Pemerikaan Filosofis tidak bisa dimulai kecuali dari fenomena kesadaran, sebab hanya fenomena itulah yang tersedia bagi kita, dan hanya fenomena itulah bahan yang bisa digunakan segera  oleh kita. Maka jelas bahwa fenomenologi  menggunakan kesadaran sebagai titik acuan awal untuk melakukan segala sesuatu.
2)    Hanya fenomena itulah yang membukakan kepada kita apa esensi sesuatu itu. Esensi yang dimaksudkan disini adalah hakikat dari sesuatu itu. Kesadaranlah yang kemudian melakukan identifikasi terhadap sesuatu itu mendapatkan hakikatny secara murni.
Husserl mengatakan bahwa pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah dengan cara mengeksplorasi kesadaran manusia. Inilah yang sebetulnya menjadi inti (prinsip) fenomenologi yaitu eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.
Kesadaran memiliki begitu banyak fenomena dan itu amatlah beragam. Apakah itu kejadian, manusia, pengalaman, ingatan, moods (suasana hati) dan lain-lain. Maka fenomenologi mencatat semua fenomena itu lalu mengeksplorasinya melalui suatu metode khusus yang disebut metode fenomenologis. Husserl sebenarnya bukanlah penemu metode ini. Ia hanya penyempurna yang memspesifikasi kondisi dan objeknya, serta mengangkat status fenomenologis itu menjadi sebuah prosedur filosofis yang fundamental. Karena istilah fenomenologi sendiri secara filosofis digunakan pertama kali oleh J.H Lambert (1764). Lambert mengartikan fenomenologi sebagai proses menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).


D. METODE FENOMENOLOGIS

Metode ini terdiri dari apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi,dinilai, dibayangkan, diragukan atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran.
Metode fenomenologis merupakan metode yang dipraktekkan secara sistematis. Spielberg (dalam Misiak & Sexton, 1988) mengatakan ada tujuh langkah. Yang paling mendasar dan umum digunakan adalah deskripsi fenomenologis. Dalam interpretasi Spielberg dibagi menjadi tiga fase yaitu :
  1. Mengintuisi, Artinya adalah mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Manusia dalam ha ini merupakan makhluk yang bisa melihat fenomena-fenomena secara utuh dan kemudian meresapinya sesuai naluri
2.  Menganalisis, Maksudnya adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena atau pertaliannya. Artinya adalah manusia mamu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang direnungkannya. Sehingga ditemukan korelasi antara setiap bagian fenomena itu hingga menjadi suatu hal yang utuh.
3.  Menjabarkan Merupakan proses penguraian fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Persoalan penjabaran adalah bagaimana membuat orang paham mengenai sebuah fenomena melalui kalimat yang kita deskripsikan kepada mereka.
Syarat yang paling utama untuk keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan dalam tanda kurung.
Dalam usaha untuk menyingkirkan segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiki tiga macam reduksi (penyaringan). Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga macam reduksi.
  1. Reduksi  fenomenologis
Didalam reduksi ini manusia mesti meninggalkan(menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dala wujud murni dan utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran , tanpa terlebih dulu di-judge oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.

2.       Reduksi Eidetis

Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan) segala hal yang bukan eidos atau intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Disinilah manusia bisa memengerti sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan mana yang bukan.

3.       Reduksi Transendental

Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Dunia yang tampak sebenarnya tidak dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia , bahwa pengertian manusia  tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih estrem, dunia tidak dapat memberikan kebenaran.
Supaya kebenaran itu didapatkan manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Didalam pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dengan dunia benda diluar kita. Didalam menikmati kesadaran kita maka yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. Aku empiris ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya.Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental.Karena aku yang murni ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.


D. KESIMPULAN

Fenomenologi adalah suatu refleksi atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl.
            Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. 

REFERENSI

Misiak, Henry & V.S Sexton.1988. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan
Humanistik.Bandung: Refika Aditama
Bertens,K.2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Mizan
Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk mewujukan cita islam sebagai rahmatan lil alamin, harus dimulai dengan dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas.